Antara Gus Dur, Riyanto Banser, dan Bom Natal Mojokerto
LIPUTAN KHUSUS
Farid, CNN Indonesia | Jumat, 27/12/2019 08:17 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Gaduh knalpot vespa milik Riyanto pada 19 tahun yang silam masih terngiang jelas di ingatan sang ibunda, Katinem. Riyanto adalah anggota Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser NU) yang menjadi martir saat serangan teror bom di Gereja Eben Haezer, Mojokerto, pada natal tahun 2000 silam.Sore itu, 24 Desember 2000, dengan mengenakan seragam loreng hijau Banser NU, putra sulung Katinem itu pamit untuk menjaga pelaksanaan misa di Gereja Eben Haezer, Mojokerto. Katinem mengatakan saat itu, 20 Ramadan 1421 hijriah, Riyanto tak berbuka puasa wajib di rumah bersama keluarga.
"Dia berangkat sore, pamit ke saya, pamit ke bapaknya mau ke Eben Haezer. Sore, belum Magrib, belum sempat berbuka juga," kata Katinem.
Kepada sang ibu Riyanto mengatakan ia dan kawan-kawannya berniat iktikaf bersama di masjid selepas tugas sebagai Banser menjaga gereja.
Malam tiba, Katinem dan adik-adik Riyanto kemudian mendengar kabar sebuah bom meledak di Jalan Kartini Nomor 4, Kota Mojokerto. Itu adalah alamat Gereja Eben Haezer, tempat anaknya menjalankan tugas.
"Waktu itu masuk 10 malam terakhir Ramadhan. Jam 8 malam kami mendengar ada bom meledak, saat itu yang saya tahu korbannya seorang banser. Niat iktikaf kami tertunda, Riyanto juga belum pulang" cerita Katinem.
Katinem mengaku tidak mendapat firasat Riyanto jadi korban ledakan. Apalagi ia mendengar yang terkena ledakan adalah Amir Sagianto--rekan Banser anaknya yang bertugas di gereja yang sama.
Saat suaminya, Sukarmin, tiba barulah Katinem cemas. Sukarmin menuturkan Riyanto tak ada kabar usai ledakan.
Kekalutan Katinem makin menjadi saat kepala koperasi desa tempat anaknya bekerja mendadak datang dan meminta berdoa dan merapal surat Fatihah untuk Riyanto. Tak lama, Sukarmin lalu berbisik ke Katinem setelah memastikan bahwa Riyanto menjadi korban ledakan bom malam itu.
Ibu dan adik dari Banser Mojokerto, Riyanto, Katinem dan Titik Sumarmi, memegang foto sang kakak yang tewas mencegah jatuh korban akibat teror bom, Mojokerto, 15 Desember 2019. (CNNIndonesia/Farid)
|
Sama seperti Riyanto, Amir Sagianto juga merupakan seorang banser yang menjaga Gereja Eben Haezer pada 24 Desember 2000.
"Jam 16.00 WIB sudah kumpul di rumah saya, semua teman-teman, Cak Bowo, Cak Wul, Cak Subandi, Riyanto, dengan saya," ujar Amir mengingat kembali.
Sesampainya di sana, mereka pun mulai menyiapkan penjagaan. Ketika azan Magrib berkumandang, mereka berbuka puasa lalu bergantian menunaikan ibadah salat wajib.
Saat berbuka puasa dengan sebotol air mineral yang dibeli Riyanto, Amir mengaku kaget ketika rekannya tersebut tiba-tiba bertanya soal muslim jika meninggal saat menjaga ibadah umat agama lain.
"Dik Riyanto itu aneh tanyanya, dia bilang 'Pak Bowo, kalau aku jaga gereja begini bagaimana kalau mati?'. Ya Pak Bowo jawab 'alhamdulillah mati syahid dik, membela persatuan kesatuan'. Sudah itu dia enggak tanya-tanya lagi, diam, seperti berpikir," ujar Amir.
Setelah salat dan buka puasa, Riyanto dan Amir kemudian diminta kepolisian mewakili Banser untuk mengikuti apel di halaman Mapolres Mojokerto. Merujuk pada peta, jarak dua lokasi itu sekitar 900 meter.
Amir Sagianto. (CNNIndonesia/Farid)
|
Sekitar pukul 19.45 WIB, kata Amir, salah seorang jemaat memberitahu ada tas yang tergeletak di bawah telepon umum, di depan gereja.
Amir pun mengecek keberadaan tas yang tergeletak itu. Tak lama, Riyanto pun menghampirinya. Mereka kaget, dalam tas terdapat rangkaian kabel dan paku. Salah seorang polisi yang juga melihat tas itu lalu sadar itu adalah bom sehingga refleks berteriak, "Tiarap!".
Spontan teriakan itu membuat kerumunan orang di depan gereja kocar-kacir, sementara tas berisi bom itu masih tergeletak. Amir melihat Riyanto segera mengambil tas berisi bom tersebut, memeluknya sambil membawa menjauh dari kerumunan--ke arah selokan di seberang gereja."Belum sempat masuk selokan, [tas] dilempar Dik Riyanto ternyata meledak, jalan jadi gelap, keadaan sudah kacau, saya sudah tidak ingat apa-apa lagi," kata Amir.
Berdasarkan keterangan rekan-rekannya, ledakan itu membuat tubuh Riyanto terpental sejauh 30 meter dari titik ledakan. Amir juga dilarikan ke rumah sakit. Ia menderita luka sobek di bagian kepala terkena serpihan ledakan, darahnya deras bercucuran.
Gereja Eben Haezer Mojokerto, tempat yang mendapatkan teror bom di mana Banser, Riyanto, menjadi korban pada 24 Desember 2000. (CNNIndonesia/Farid)
|
Debu Vespa dan Perhatian Gus Dur
Belasan tahun pasca-peristiwa memilukan itu, vespa merah Riyanto Banser kini masih terparkir di teras rumahnya. Kondisinya masih tetap sama, kelir merahnya belum memudar, hanya tertutup debu. Adik Riyanto, Titik Sumarmi, mengaku sesekali membersihkan debu yang menempel di tubuh vespa tersebut.
"Biasanya dipakai Mas Bin (Biantoro-adik Riyanto yang lain) tapi ini sudah lama mogok. Saya dulu juga sempat diajari Mas Riyanto, tapi sudah ndak berani lagi saya naik ini," ujar Titik.
Titik mengatakan Vespa itu adalah satu-satunya benda peninggalan Riyanto. Vespa itu dibeli Riyanto seharga Rp1,5 juta dari uang tabungan hasil bekerja sebagai kuli timbang, di koperasi desa.
Riyanto yang hanya tamatan sekolah dasar itu adalah tulang punggung keluarganya. Sepeninggal Riyanto, Titik dan Katinem, mengakui kondisi perekonomian keluarganya sempat goyah. Sang bapak, meski sudah memasuki usia tua, harus tetap menarik becak untuk biaya hidup sehari-hari. Selain itu, Hidup mereka sempat terbantu oleh sejumlah pihak yang memberikan santunan.
Titik Sumarmi bersama vespa peninggalan kakaknya, anggota Banser Mojokerto Riyanto, yang tewas akibat ledakan teror bom di Gereja Eben Haezer pada 24 Desember 2000. (CNNIndonesia/Farid)
|
"Sama Gus Dur saya diberi kain, ada juga uang jumlahnya Rp10 juta, seingat saya. Lalu beberapa kali juga sempat diajak ketemu lagi," kata Katinem.
Usai Gus Dur lengser dari kursi presiden karena dimakzulkan MPR pada 2001, Katinem mengatakan tak ada lagi perhatian dari pemerintah kepada keluarganya.
Jangankan bantuan, katanya, pendampingan psikologi saja tak ada. Padahal, ia mengaku keluarganya saat itu sempat menderita trauma. Kendati demikian keluarganya tak mau terlalu mempermasalahkannya, dan memilih menyelesaikan persoalan hidup bersama keluarga yang tersisa.
"Kami tidak mengharap apa-apa. Kami sekeluarga bisa saling membantu, anak-anak ibu saling menguatkan. Hanya waktu yang menyembuhkan trauma kami," ujar Katinem.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. (AFP PHOTO/Sonny TUMBELAKA)
|
Selain dari Gus Dur, bantuan kepada keluarga Riyanto juga datang dari pihak gereja.
Rudy Sanusi Widjaja, Gembala Gereja GSJPDI Eben Haezer Mojokerto (69), mengatakan sebagai bentuk kepedulian, pihaknya pun memberikan santunan berupa beasiswa pendidikan kepada salah satu adik Riyanto, Partini.
"Kita memberikan santunan, kepada adiknya yang tahun itu kebetulan juga lulus SMA, kita panggil, dan kita beri beasiswa sampai lulus S1, dia juga punya prestasi," kata Rudy.
Rudy menyadari bantuan yang diberikan pihaknya itu, memanglah tak sebanding dengan apa yang telah dikorbankan oleh Riyanto. Namun ia berharap, sedikit banyaknya, semoga apa yang diberikannya itu bisa meringankan beban keluarga.
"Kita menyadari itu tak sebanding dengan pengorbanan Mas Riyanto, karena dia berkorban nyawa untuk ratusan jemaat gereja," kata dia soal pengorbanan Riyanto Banser.
Kisah Penghargaan Jalan Kemanusiaan Riyanto di Mojokerto
BACA HALAMAN BERIKUTNYAHalaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Antara Gus Dur, Riyanto Banser, dan Bom Natal Mojokerto"
Post a Comment